NawaBineka – Keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, memicu kehebohan di kalangan masyarakat dan netizen. Pagar yang terbentang di laut pantai utara (Pantura) itu menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang membangun dan apa tujuannya?
Pagar Laut Dibangun Nelayan Secara Swadaya
Belakangan terungkap bahwa pagar laut tersebut dibangun secara swadaya oleh masyarakat nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) setempat. Koordinator JRP, Sandi Martapraja, menyatakan bahwa pagar laut itu dibuat untuk mitigasi bencana seperti abrasi dan tsunami.
“Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi,” kata Sandi di Tangerang, Minggu (12/1/2025).
Menurut Sandi, tanggul laut tersebut memiliki fungsi penting dalam mengurangi dampak gelombang besar dan melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi. Selain itu, tanggul juga dapat memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat melalui budidaya tambak ikan di sekitar area tersebut.
Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyegel pagar laut tersebut karena dianggap melanggar aturan. Pagar laut itu diduga tidak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Penyegelan Pagar Laut oleh KKP
Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Pung Nugroho, menyatakan bahwa penyegelan dilakukan atas instruksi langsung dari Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
“Langkah ini merupakan respons tegas atas aduan nelayan setempat serta untuk menegakkan aturan terkait tata ruang laut,” ujar Pung.
Keberadaan pagar laut ini pertama kali mencuat setelah hasil investigasi Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten menemukan pagar bambu yang membentang di 16 desa di enam kecamatan di Kabupaten Tangerang. Struktur pagar terbuat dari bambu dengan tinggi rata-rata 6 meter yang dilengkapi anyaman bambu, paranet, dan pemberat berupa karung pasir.
Polemik Pagar Laut di Bekasi
Selain di Tangerang, pagar laut serupa juga ditemukan di pesisir Bekasi, Jawa Barat. Namun, Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, menegaskan bahwa pemagaran di Tangerang dan Bekasi adalah dua hal yang berbeda.
“Pemagaran di Bekasi bertujuan untuk konservasi mangrove dan pengendalian abrasi. Sementara di Tangerang, pemagaran ini berdampak negatif bagi nelayan kecil karena membatasi akses mereka ke area penangkapan ikan,” jelas Johan.
Johan mendesak pemerintah untuk segera mengusut tuntas kasus pemagaran laut di Tangerang. Ia juga menyoroti kurangnya transparansi terkait izin dan tujuan dari pembangunan pagar tersebut.
“Kami menolak segala upaya pengalihan isu atau pembenaran yang mencoba membingkai tindakan ini sebagai hal yang positif. Hak-hak nelayan harus dilindungi, dan pihak yang bertanggung jawab atas pemagaran misterius ini harus diungkap,” tegasnya.
Dugaan Keterlibatan Sosok Artis
Sementara itu, pengamat politik sekaligus pakar hukum tata negara, Refly Harun, menduga bahwa dalang di balik pembangunan pagar laut ini adalah seorang artis terkenal yang memiliki bisnis dan dekat dengan lingkaran kekuasaan.
“Kita bisa membayangkan kalau cluenya adalah selebriti yang lagi booming, kemudian yang berbisnis, maka harus tambah yang dekat dengan kekuasaan pastinya. Karena yang seperti ini hanya orang yang dekat dengan kekuasaan yang berani melakukan ini,” ujar Refly dalam tayangan YouTube Channel-nya.
Refly menyayangkan jika benar ada individu yang merasa bisa memiliki laut. Menurutnya, laut adalah milik publik dan tidak dapat dimiliki oleh perorangan.
“Kalau ini tidak dilakukan oleh pemerintah, tapi dilakukan oleh selebriti, wah luar biasa. Dia bisa memiliki laut, padahal laut itu belongs to the republic, belongs to the people of Indonesia,” kata Refly.
Sebelumnya, seorang nelayan di Pulau Cangkir, Heru, menyebutkan bahwa pagar laut tersebut diduga dimiliki oleh artis Tanah Air. Heru mengatakan bahwa aktivitas pemagaran laut sudah berlangsung selama beberapa bulan terakhir.
Polemik pagar laut ini menuai beragam reaksi dari masyarakat, terutama nelayan yang merasa akses mereka ke laut menjadi terbatas. Nelayan setempat, Tayum, mengungkapkan bahwa pagar bambu tersebut telah berdiri selama enam bulan terakhir dan menyebabkan aktivitas penangkapan ikan terganggu.
Di sisi lain, pemerintah berjanji akan terus mengusut kasus ini dan memastikan bahwa setiap pembangunan di wilayah pesisir harus mematuhi aturan yang berlaku. DPR RI juga menegaskan akan mengawal kasus ini hingga pihak yang bertanggung jawab diungkap dan diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum.
Dengan munculnya berbagai spekulasi terkait siapa yang berada di balik pembangunan pagar laut ini, masyarakat berharap kasus ini segera mendapat kejelasan agar tidak merugikan nelayan kecil dan menjaga kelestarian wilayah pesisir Indonesia.