NawaBineka – Taruna tingkat 1 STIP Jakarta bernama Putu Satria Ananta Rastika (19) dinyatakan meninggal dunia pada Jumat (3/5/2024), usai dianiaya seniornya berinisial TRS (21).
Budaya senioritas nampaknya sulit sekali dihilangkan dari sekolah kedinasan di republik ini. Walaupun pihak Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) menyatakan sudah menghapuskan budaya senioritas seperti perpeloncoan dari program mereka.
Baca Juga: Gagal Taklukan China di Partai Final, Tim Uber Indonesia Tetap Bikin Bangga!
“Kita sudah hapus semua perpeloncoan karena itu bagian dari turun temurun,” kata Kepala STIP Jakarta, Ahmad Wahid.
Nyatanya, praktik senioritas masih terjadi di sekolah yang dipimpinnya. Saat disinggung soal itu, Ahmad berdalih jika itu diluar kuasanya.
“Itu di luar kuasa kita, karena tidak ada di program kita,” singkatnya.
Dalam budaya sesepuh Indonesia, ada budaya menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Perbedaan inilah yang dimanfaatkan oleh senior untuk melakukan tindakan semena-mena terhadap juniornya atau senioritas.
Oleh karena itu, tidak jarang kasus-kasus senioritas yang berujung pada kekerasan. Bahkan senioritas bisa memakan korban.
Kronologi Kasus Senioritas di STIP
Awalnya pihak polisi menerima laporan pengaduan dari keluarga korban tentang adanya kejanggalan dalam kematian Putu Satria Ananta Rastika.
Baca Juga: Arab Saudi Larang Haji ‘Backpacker’, Ini Aturan Terbarunya!
“Jadi kami menerima laporan pengaduan setelah jenazahnya dibawa ke RS Tarumajaya, kemudian seorang keluarganya mendapatkan informasi bahwa korban telah meninggal dunia, karena ada luka lebam di bagian perut di ulu hati,” kata Kapolres Jakarta Utara (Jakut) Kombes Gidion Arif Setyawan.
“Kemudian tante korban atas nama Ni Wayan Nidiartini, melaporkan ke Polres Metro Jakut. Atas dasar itulah kami melakukan oleh TKP, dan kami menyimpulkan bahwa ada sinkronisasi dari keterangan saksi, keterangan terduga pelaku yang sekarang sudah jadi tersangka, dan CCTV yang sudah di pelajari oleh Satreakrim Polres Jakut,” sambungnya.
Sejauh ini, polisi sudah memeriksa 36 orang saksi. Selain itu, penyidik juga telah menyita dan memeriksa rekaman CCTV yang ada di STIP.
Gideon menambahkan, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan terhadap jenazah korban dan ditemukan adanya luka di daerah ulu hati. Menurutnya, kejadian penganiayaan terjadi pada 3 Mei 2024, sekitar jam 07.55 WIB di toilet kampus.
“Kami sudah melakukan otopsi kepada jenazah. Ada luka di daerah ulu hati yang menyebabkan pecahnya jaringan parut. Ada pendarahan. Tapi ada luka lecet di bagian mulut juga,” ujar Gideon.
Saat penganiayaan dan melihat korban tidak berdaya, pelaku TRS sempat berupaya melakukan pertolongan. Namun, upaya tersebut justru menyebabkan kematian korban.
“Ternyata yang menyebabkan matinya atau hilangnya nyawa korban adalah paling utama adalah ketika dilaksanakan upaya-upaya yang menurut tersangka ini adalah penyelamatan di bagian mulut. Sehingga itu menutup bagian oksigen saluran pernapasan dan mengakibatkan organ vital tidak mendapatkan asupan oksigen, sehingga menyebabkan kematian,” bebernya.
“Jadi luka yang ada di paru menyebabkan mempercepat proses kematian. Kematian utama justru ketika melakukan tindakan setelah melihat korban tidak berdaya sehingga panik, kemudian dilaksanakan upaya penyelamatan tadi yang kemudian tidak sesuai dengan prosedur,” lanjut Gideon.
Motif Pelaku
Menurut Gidion, pelaku berinisial TRS, menganiaya Putu Satria Ananta Rastika hingga tewas, karena arogansinya sebagai senior. Dia menyatakan, senioritas itu tampak sebelum peristiwa pemukulan terjadi.
Pelaku TRS sempat bertanya ke korban dan empat temannya, siapa yang paling kuat di antara mereka berlima di salah satu toilet kampus.
“Ada satu kalimat dari tersangka yang menyatakan gini, ‘Mana yang paling kuat?’,” kata Gidion menirukan ucapan pelaku.
Baca Juga: Kasus Mutilasi Ciamis, Lagi-Lagi Depresi Utang Bawa Petaka
“Kemudian korban mengatakan bahwa dia yang paling kuat karena merasa dirinya adalah ketua kelompok dari komunitas tingkat 1 ini,” sambungnya.
Mendengar ucapan itu, TRS seketika melayangkan pukulan ke arah ulu hati korban.
“Mereka dipanggil ke toilet karena sang senior merasa bahwa mereka melakukan kesalahan, yang mana menggunakan baju olahraga,” ucap Gidion.
Setelah dipukul sebanyak lima kali, Putu langsung lemas dan terkapar. Pelaku lantas meminta empat teman Putu pergi dan korban dibawa ke klinik yang berada di lingkungan STIP.
Sesampainya di klinik, korban disebut sudah tak bernyawa. Sebab, sudah tidak ada denyut nadi di tubuh korban ketika dilakukan pemeriksaan.
Ancaman 15 Tahun Penjara
Tersangka TRS, siswa STIP tingkat dua terancam 15 tahun penjara usai melakukan penganiayaan berujung tewasnya Putu Satria Ananta Rastika, yang masih menempuh pendidikan tingkat satu.
TRS dijerat pasar pembunuhan dengan ancaman hukuman yang tidak main-main. Pelaku dijerat pasar 338 jo atau subsider 351 ayat 3 dengan ancaman 15 tahun penjara.
Status taruna TRS saat ini telah dicopot oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Perhubungan.
Baca Juga: AstraZeneca Akui Vaksinnya Sebabkan Pembekuan Darah hingga Kerusakan Otak