NawaBineka – Kasus dugaan pencabulan anak di bawah umur yang melibatkan Kapolres Ngada nonaktif, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman, terus menjadi sorotan publik.
Fajar diamankan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri pada Kamis (20/2/2025) setelah otoritas Australia menemukan video pelecehan anak di bawah umur yang diunggah ke situs dewasa berbasis di negara tersebut.
Terbongkarnya Dugaan Pencabulan
Kasus ini bermula dari penyelidikan otoritas Australia yang menemukan video pelecehan anak di bawah umur di situs porno mereka. Setelah ditelusuri, lokasi pengunggahan video mengarah ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pihak Australia kemudian menghubungi pejabat terkait di Indonesia hingga Polri melakukan penyelidikan lebih lanjut. Dari hasil investigasi, nama Kapolres Ngada nonaktif, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, muncul sebagai terduga pelaku.
Setelah mengumpulkan bukti yang cukup, tim Propam Polri bergerak cepat mengamankan Fajar dan mulai memeriksa sejumlah saksi, termasuk tiga korban yang masing-masing berusia 14 tahun, 12 tahun, dan 3 tahun.
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kupang, Imelda Manafe, para korban mengalami trauma berat akibat kejadian tersebut.
“Sudah 20 hari kami melakukan pendampingan terhadap korban,” kata Imelda.
Proses Hukum dan Status Tersangka yang Belum Ditetapkan
Meskipun telah mengakui perbuatannya, hingga kini AKBP Fajar belum ditetapkan sebagai tersangka.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT, Kombes Pol Patar Silalahi, menjelaskan bahwa sejak kasus dinaikkan ke tahap penyidikan pada 4 Maret 2025, Fajar belum menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
“Perkara ini sudah tahap sidik namun belum ada penetapan tersangka,” kata Patar, Rabu (12/3).
Patar menambahkan bahwa alasan belum adanya status tersangka karena sejak 24 Februari 2025, Fajar sudah dibawa ke Jakarta untuk pemeriksaan di Mabes Polri.
“Meski sudah proses penyidikan, kita belum periksa dia sebagai tersangka, karena pada tanggal 24 sudah dibawa ke Jakarta,” jelasnya.
Polda NTT berencana melakukan pemeriksaan terhadap Fajar di Mabes Polri pada pekan depan.
Libatkan Sindikat Perantara Anak untuk Eksploitasi Seksual
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditkrimum) Polda NTT telah memeriksa sembilan saksi dalam kasus ini. Salah satu saksi, berinisial F, berperan sebagai perantara yang membawa korban kepada Fajar.
“Yang bersangkutan mengorder anak tersebut melalui seseorang yang berinisial F dan disanggupi oleh F untuk menghadirkan anak tersebut,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda NTT, Kombespol Hendry Novika Chandra.
F membawa korban ke sebuah hotel di Kota Kupang, di mana Fajar telah menunggu. Setelah itu, F menerima imbalan sebesar Rp 3 juta, sementara korban tidak diberi uang sama sekali. Korban hanya dibawa makan dan bermain sebelum mengalami pelecehan oleh Fajar.
Lebih mengejutkan lagi, Fajar diduga merekam aksinya dan mengunggahnya ke situs porno Australia. Keberadaan video ini yang akhirnya menjadi petunjuk utama dalam pengungkapan kasus ini oleh otoritas luar negeri.
Komisi III DPR Desak Penindakan Tegas
Kasus ini menuai kecaman luas, termasuk dari Komisi III DPR RI. Anggota DPR dari daerah pemilihan NTT, Stevano Adranacus, menegaskan bahwa pihaknya mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk menerapkan pasal berlapis terhadap AKBP Fajar.
“Kami mengutuk keras perbuatan keji yang telah dilakukan bersangkutan,” ujar Stevano, Rabu (12/3).
Komisi III DPR RI mendesak agar Fajar dijerat dengan Undang-Undang Kejahatan Seksual terhadap Anak, UU Pornografi, serta UU ITE. Stevano menegaskan bahwa kasus ini masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus mendapatkan hukuman maksimal.
“Kami di Komisi III DPR RI berkomitmen untuk mengawal kasus ini hingga putusan akhir,” tegasnya.
Tuntutan Masyarakat Akan Transparansi Proses Hukum
Publik menuntut agar kasus ini ditangani dengan transparan dan pelaku mendapatkan hukuman seberat-beratnya. Aktivis perlindungan anak menilai bahwa kasus seperti ini tidak boleh ditoleransi, terlebih jika pelakunya adalah aparat penegak hukum.
“Ini bukan sekadar kejahatan seksual, tetapi juga bentuk eksploitasi anak yang melibatkan penyebaran konten ke luar negeri. Pemerintah harus memastikan keadilan ditegakkan,” ujar seorang aktivis yang enggan disebutkan namanya.
Dengan tekanan dari berbagai pihak, diharapkan proses hukum terhadap AKBP Fajar dapat berjalan transparan dan memberikan keadilan bagi para korban.