NawaBineka – Selebgram Gitasav kembali menjadi sorotan setelah mengungkap dirinya hampir mengakhiri hidup akibat tekanan dari netizen. Keputusan Gitasav dan suaminya, Paul Partohap, untuk menjalani konsep childfree menuai banyak kritik dan serangan verbal di media sosial.
Dalam unggahan di Instagram Story, Gitasav mengungkapkan bahwa komentar negatif yang terus mengalir telah merusak kondisi mentalnya. Ia mengaku menjadi sasaran cibiran dan penghakiman dari banyak orang yang tidak setuju dengan pilihannya.
Tekanan Berat dan Keinginan Mengakhiri Hidup
Gitasav menceritakan bagaimana dirinya nyaris mengambil keputusan fatal akibat serangan bertubi-tubi yang diterimanya.
“Saya hampir melakukan itu (bunuh diri). Saya mendapat serangan luar biasa dari banyak orang. Yang membuat lebih berat adalah dihakimi dan disalahkan oleh mereka yang mengaku lebih agamis dan Islami,” ungkapnya.
Ia juga menyebut bagaimana sebagian besar komentar yang diterimanya membawa unsur agama dalam kritik mereka, yang semakin membuatnya merasa tertekan.
“Melihat betapa buruknya perilaku mereka sambil membawa-bawa ayat suci, rasanya campur aduk. Saya marah, frustrasi, merasa bersalah, dan sangat tersakiti,” ujarnya.
Gitasav mengakui bahwa ia sempat berusaha meyakinkan dirinya bahwa tidak semua orang berpikiran serupa. Namun, serangan yang terus berlanjut membuatnya lelah secara mental.
“Saya berusaha berpikir positif, tapi terlalu banyak orang yang begitu jahat. Rasanya sangat berat dan melelahkan,” tambahnya.
Menjalani Terapi untuk Memulihkan Mental
Dalam upayanya untuk pulih dari tekanan yang dialami, Gitasav memutuskan untuk menjalani terapi dengan tenaga profesional. Meski tidak menjelaskan secara rinci metode yang ia jalani, ia mengakui bahwa terapi tersebut membantunya perlahan kembali stabil secara emosional.
“Seiring waktu, kondisi mental saya mulai membaik. Saya berhenti melakukan ‘senam otak’ yang melelahkan dan lebih memilih menerima apa yang terjadi daripada terus berusaha menutupinya,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak lagi memaksakan diri untuk diterima oleh komunitas yang sering memberikan kritik keras terhadap pilihannya.
“Orang-orang konservatif cenderung toxic dan sombong. Jika ada yang berbeda, biarkan mereka membuktikannya sendiri, bukan saya yang harus terus mencari alasan untuk membenarkan tindakan mereka,” tegasnya.
Fokus pada Kesehatan Mental
Gitasav kini lebih memilih untuk fokus pada kesejahteraan mentalnya dan tidak lagi mempedulikan komentar negatif yang datang kepadanya.
“Jelas bahwa orang seperti saya tidak diterima di komunitas tertentu karena dianggap terlalu terbuka. Tapi semakin saya menerima kenyataan ini, semakin saya merasa lebih tenang,” kata Gitasav.
Menurutnya, banyak orang hanya menggunakan dalih agama untuk memperkuat posisi mereka dalam berdebat tanpa benar-benar peduli dengan kondisi orang lain.
“Saya sadar mereka tidak benar-benar peduli pada saya. Mereka hanya menggunakan ayat Tuhan untuk membuat diri mereka merasa lebih baik dan lebih kuat,” pungkasnya.
Ungkapan Gitasav ini kembali memicu diskusi di media sosial tentang batasan kritik dan dampak psikologis dari ujaran kebencian di dunia maya. Kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap orang memiliki batasan mental yang perlu dihormati, serta pentingnya menjaga empati dalam berkomunikasi di ruang digital.