Tuesday, April 1, 2025
spot_img
HomeNewsNasionalRUU Polri dan Kewenangan Tambahan, Sinyal Kembalinya Bayang-Bayang Orde Baru?

RUU Polri dan Kewenangan Tambahan, Sinyal Kembalinya Bayang-Bayang Orde Baru?

NawaBineka – Revisi Undang-undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) kembali menuai sorotan tajam setelah sejumlah pasal dalam draf perubahan tersebut dinilai mengancam demokrasi dan membuka ruang lahirnya kembali praktik kekuasaan gaya Orde Baru.

Draf yang sudah mulai dibahas sejak 2024 itu dianggap memberi kewenangan besar terhadap institusi Polri di luar fungsi utamanya sebagai penegak hukum.

Baca Juga: Jokowi Bicara Soal Peluang Bertemu Megawati: Kelihatannya Kok Enggak Mungkin

Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa hingga saat ini lembaganya belum menerima surat presiden (surpres) yang menjadi syarat resmi pembahasan RUU tersebut. Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang mengatakan bahwa DPR belum memiliki rencana untuk merevisi UU Polri dalam waktu dekat.

Meski begitu, isi draf RUU yang telah bocor ke publik telah memicu kekhawatiran di berbagai kalangan, terutama dari Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka menilai sejumlah pasal dalam draf RUU Polri justru mengarah pada dominasi institusi Polri terhadap lembaga lain yang seharusnya independen, seperti KPK dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).

Salah satu yang disorot tajam adalah Pasal 14 ayat 1 huruf g yang memberikan Polri kewenangan untuk mengoordinasi dan mengawasi lembaga penyidik lain. Hal ini berpotensi menggerus independensi KPK dan PPNS, mengingat pengawasan tersebut dilakukan oleh institusi yang seharusnya sejajar.

Pasal lain yang menimbulkan kekhawatiran adalah kewenangan penyadapan yang dimuat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf o. Tidak seperti KPK yang diwajibkan memperoleh izin dari dewan pengawas, draf RUU ini tidak mencantumkan mekanisme pengawasan serupa bagi Polri.

RUU ini juga membuka ruang bagi Polri untuk turut mengatur sistem kota cerdas atau smart city (Pasal 14 ayat 2 huruf c), serta memberikan kewenangan untuk memblokir dan memperlambat akses ruang siber demi alasan keamanan dalam negeri (Pasal 16 ayat 1 huruf q). Pengalaman pemblokiran internet di Papua pada 2019 menjadi rujukan nyata bahwa kewenangan seperti ini dapat disalahgunakan.

Lebih jauh, pasal-pasal seperti Pasal 16A dan 16B memberi kewenangan pada Intelkam Polri untuk menyusun kebijakan intelijen nasional, bahkan dapat meminta data dari lembaga intelijen lain seperti BIN, BSSN, dan BAIS. Ketidakjelasan batasan kepentingan nasional dalam pasal ini juga dinilai sangat rawan dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan.

Polemik tidak berhenti di situ. Pasal 16 ayat 1 huruf n dan p mengisyaratkan bahwa Polri akan menjadi lembaga penentu dalam pengangkatan penyidik di lembaga lain dan pengantar sah berkas perkara ke kejaksaan. Kondisi ini membuat posisi Polri menjadi superior terhadap lembaga penegak hukum lainnya, bertentangan dengan prinsip independensi penegakan hukum.

Para pengkritik menyebut, draf RUU ini berpotensi membawa kembali model kekuasaan ala Orde Baru, di mana aparat keamanan bukan hanya menjadi penjaga hukum, tapi juga aktor utama dalam kebijakan pemerintahan. Ini mengingatkan pada konsep Dwifungsi ABRI yang memberikan peran ganda militer dalam pertahanan dan pemerintahan, sebuah praktik yang telah lama ditinggalkan sejak era reformasi 1998.

Dalam kajian D.W Firdaus berjudul Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial Politik tahun 1966–1998, disebutkan bahwa konsep jalan tengah yang dikembangkan oleh A.H. Nasution menjadi cikal bakal dominasi militer dalam kehidupan berbangsa. RUU Polri dinilai memiliki semangat serupa, hanya saja dikemas dalam konteks modern melalui pendekatan teknologi dan keamanan digital.

Meski belum resmi dibahas, berbagai organisasi masyarakat sipil meminta DPR untuk mencermati kembali urgensi dan arah revisi RUU ini. Jangan sampai, alih-alih memperkuat penegakan hukum, revisi justru membuka jalan bagi kembalinya otoritarianisme dengan wajah baru.

Sampai saat ini, DPR masih menunggu surpres untuk dapat memulai proses legislasi secara formal. Namun publik diminta untuk tetap waspada dan aktif mengawasi proses penyusunan regulasi yang menyangkut hak-hak dasar warga negara dan prinsip demokrasi.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments