NawaBineka – Pertemuan tertutup antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada Senin malam, 7 April 2025, kembali memanaskan suhu politik nasional. Dalam suasana yang masih dalam nuansa Lebaran, keduanya berbincang selama 1,5 jam dalam pertemuan empat mata yang disinyalir sarat makna dan strategi politik.
Menurut pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, Ali Rif’an, pertemuan ini setidaknya memberikan sejumlah sinyal penting terkait peta hubungan Prabowo-Megawati dan kemungkinan arah politik ke depan, khususnya soal posisi PDIP dalam pemerintahan.
“Pertama, ini membantah isu keretakan hubungan antara Prabowo dan Megawati, yang sebelumnya mencuat setelah penetapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka KPK dan instruksi Megawati kepada kepala daerah PDIP untuk retret,” kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Jumat (11/4/2025).
Lebih jauh, Ali menilai pertemuan itu berlangsung pada momentum yang sangat strategis. Di tengah situasi ekonomi global yang tidak menentu dan tantangan domestik yang makin kompleks, komunikasi antar tokoh nasional seperti ini menjadi penting dalam menjaga stabilitas politik.
Namun, karena berlangsung secara tertutup dan hanya melibatkan dua elite partai, analisis spekulatif pun mengemuka. Ali tak menampik kemungkinan bahwa pertemuan tersebut juga membahas agenda sensitif seperti Kongres PDIP mendatang maupun potensi kerja sama politik antara PDIP dan pemerintah.
“Bisa saja PDIP tengah melobi agar kongres internalnya tidak diganggu. Atau, mungkin ada tawaran dari Prabowo agar PDIP masuk koalisi dengan imbalan posisi strategis di kabinet, apalagi reshuffle sangat mungkin terjadi enam bulan pertama pemerintahan,” ujarnya.
Sejauh ini, meskipun secara formal berada di luar pemerintahan, sikap PDIP di parlemen terbilang kooperatif terhadap pemerintah dan partai koalisi. Hal ini dinilai membuka ruang besar untuk kerja sama politik yang lebih dalam ke depannya.
Ali juga menyoroti gaya politik inklusif Prabowo yang sejak awal pemerintahan menunjukkan kecenderungan untuk merangkul semua kekuatan politik, termasuk rival di Pilpres. Langkah ini disebut sebagai strategi membangun stabilitas dan konsolidasi nasional di tengah krisis global.
Namun, Ali mengingatkan bahwa jika pada akhirnya PDIP bergabung dan tidak ada partai yang mengambil peran oposisi, maka demokrasi Indonesia bisa memasuki fase baru yang mengkhawatirkan. Ketiadaan kekuatan penyeimbang dalam sistem demokrasi, kata dia, justru dapat menciptakan risiko otokrasi.
“Ini harus menjadi catatan penting. Pemerintahan tanpa oposisi akan kehilangan fungsi check and balance. Ini bisa menjadi bumerang bagi Presiden Prabowo sendiri jika tidak ada kontrol yang cukup dari luar,” tegasnya.
Apakah PDIP akan benar-benar bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran? Publik kini menunggu langkah politik selanjutnya pasca-pertemuan dua tokoh penting itu. Yang jelas, konstelasi politik nasional kini bergerak dinamis, dan ruang spekulasi tetap terbuka lebar.