NawaBineka – Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh massa pelajar dan mahasiswa di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, Senin (17/2), berujung ricuh. Demonstrasi tersebut menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah.
Wakapolres Jayawijaya Kompol I Wayan Laba mengonfirmasi bahwa aksi demo sempat memanas ketika aparat keamanan mencoba memisahkan kelompok pelajar dan mahasiswa dari kelompok lain yang diduga ingin mengganggu situasi ketertiban.
“Benar ada demo penolakan dari pelajar dan perwakilan mahasiswa terkait MBG, dan sempat terjadi kericuhan,” ujar Wayan saat dikonfirmasi.
Kericuhan terjadi ketika massa demonstran melempari aparat keamanan dengan batu dan ketapel. Polisi pun merespons dengan menembakkan gas air mata untuk membubarkan aksi.
“Kami sempat menembakkan gas air mata karena ada perlawanan dari massa yang melempari aparat dengan batu maupun ketapel,” kata Wayan.
Menurutnya, saat ini situasi di Wamena sudah kembali kondusif, dan aparat terus mengawasi pergerakan pelajar yang terlibat dalam aksi agar tidak melakukan tindakan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
Gelombang Penolakan MBG di Papua Pegunungan
Demonstrasi di Wamena bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, ratusan pelajar dari tingkat SD hingga SMA di Dekai, Kabupaten Yahukimo, juga melakukan aksi serupa pada Senin (3/2). Mereka menolak program MBG dan menyuarakan tuntutan agar pemerintah lebih fokus pada pendidikan gratis dibanding makanan gratis.
Dalam aksi tersebut, para pelajar menaiki kendaraan bak terbuka menuju tugu di ruas jalan protokol dan membawa berbagai spanduk bertuliskan “Kami Tolak MBG, Kami Pilih Pendidikan!” serta “Makan Gratis, Mati Gratis” sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah pusat.
Demonstrasi ini mewakili delapan wilayah di Papua Pegunungan, yaitu Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Nduga, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yalimo, dan Yahukimo.
Seorang aktivis HAM senior di Papua, Theo Hesegem, mengatakan bahwa penolakan terhadap program MBG berakar pada kondisi ekonomi dan pendidikan di Papua yang jauh berbeda dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
“Mereka berpikir lebih baik sekolah gratis daripada makan gratis,” kata Theo.
Menurutnya, biaya pendidikan di Papua masih menjadi kendala besar bagi masyarakat, sehingga prioritas utama seharusnya adalah pendidikan yang lebih terjangkau bagi anak-anak di pedalaman.
Tantangan Implementasi Program MBG di Papua
Pemerintah telah memulai pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Papua dan Papua Tengah pada Senin (17/2). Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menyebut bahwa program ini telah menyasar 760 ribu orang dan ditargetkan mencapai lebih dari 2 juta penerima manfaat.
Namun, Theo Hesegem menyoroti beberapa tantangan dalam implementasi program ini di Papua Pegunungan:
- Kesenjangan Ekonomi dan Biaya Hidup
Harga kebutuhan pokok di Papua jauh lebih mahal dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Theo mencontohkan bahwa uang Rp 15 ribu di Papua tidak cukup untuk membeli makanan layak, berbeda dengan di Jawa. - Akses Transportasi dan Geografis
Banyak wilayah di Papua Pegunungan memiliki akses transportasi yang sulit, dengan beberapa daerah hanya bisa dijangkau menggunakan pesawat. Hal ini membuat distribusi makanan bergizi menjadi tantangan besar. - Wilayah Konflik dan Trauma Anak-Anak
Sejumlah wilayah di Papua masih mengalami konflik bersenjata. Theo menegaskan bahwa di beberapa daerah seperti Nduga, anak-anak bahkan sudah mengungsi dan tidak bisa bersekolah, sehingga program MBG tidak relevan bagi mereka. - Pelaksanaan oleh Aparat Keamanan
Saat ini, program MBG dijalankan oleh personel TNI-Polri, yang dianggap menimbulkan trauma bagi sebagian anak-anak di wilayah konflik. Theo menyarankan agar pengelolaan program dilakukan oleh pihak independen atau langsung oleh sekolah agar lebih efektif.
Pemerintah Diminta Dengarkan Aspirasi Warga Papua
Gubernur Papua Pegunungan telah menerima perwakilan demonstran dan berjanji akan menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah pusat. Theo Hesegem menekankan bahwa kurangnya komunikasi antara pemerintah pusat dan masyarakat setempat menjadi penyebab utama penolakan program MBG.
“Pemerintah harus banyak berdialog dengan warga setempat. Tanyakan kepada masyarakat dan mahasiswa apa yang benar-benar mereka butuhkan,” ujarnya.
Menurutnya, solusi terbaik adalah mengutamakan perbaikan sistem pendidikan sebelum menerapkan kebijakan makan gratis.
Demonstrasi ini menjadi refleksi bahwa kebijakan nasional harus mempertimbangkan realitas sosial, ekonomi, dan geografis setiap daerah, terutama di Papua yang memiliki tantangan tersendiri dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.