NawaBineka — Pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal kemungkinan memberikan pengampunan kepada koruptor yang mengembalikan uang hasil korupsi menjadi pusat perhatian publik. Dalam pidatonya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada Rabu (18/12/2024), Prabowo menyebut langkah ini sebagai upaya memberi kesempatan kepada para pelaku untuk bertobat dan memperbaiki kesalahan.
“Hei para koruptor, atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong,” ujar Prabowo di hadapan para mahasiswa Indonesia.
Prabowo juga menyebut bahwa pengembalian uang tersebut dapat dilakukan secara tertutup demi memudahkan prosesnya. “Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya bisa diam-diam, tidak ketahuan. Tapi kembalikan,” tambah Prabowo.
Selain itu, Prabowo mewanti-wanti semua pihak yang telah menerima fasilitas dari negara untuk memenuhi kewajibannya. “Hai kalian yang sudah terima fasilitas dari bangsa dan negara, bayarlah kewajibanmu. Asal kau bayar kewajibanmu, taat kepada hukum, sudah, kita menghadap masa depan,” sambungnya.
Namun, gagasan ini menuai berbagai reaksi, baik dari kalangan pemerintah, akademisi, hingga aktivis antikorupsi.
Menkumham: Pengembalian Asset Recovery Lebih Penting
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Supratman Andi Agtas, mengklarifikasi bahwa pernyataan Presiden tidak bisa diimplementasikan secara langsung tanpa pembahasan mendalam. Ia menyebut pemerintah akan mendalami langkah-langkah konkret sebelum kebijakan ini diterapkan.
“Presiden sama sekali tidak menganggap bahwa itu bisa dilakukan serta-merta. Teman-teman bisa menunggu langkah konkret selanjutnya setelah arahan diberikan kepada kami,” ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Senin (23/12/2024).
Supratman juga menyoroti pentingnya pengembalian kerugian negara atau asset recovery sebagai prioritas utama dibanding sekadar menghukum pelaku. “Kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa lebih maksimal, itu jauh lebih baik dibandingkan sekadar hanya menghukum,” kata Supratman.
Namun, ia mengakui bahwa mekanisme pengembalian aset saat ini belum maksimal, karena sering kali jumlah yang dikembalikan tidak sesuai dengan kerugian negara.
“Selama ini juga faktanya bahwa negara, setelah orang dihukum dan membayar uang pengganti, sering kali tidak sesuai dengan besaran kerugian negara,” tambahnya.
Kritik dari Pakar Hukum dan Aktivis Antikorupsi
Wacana ini mendapat kritik tajam dari sejumlah pihak, termasuk Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto. Menurut Agus, pendekatan pengampunan kepada koruptor tidak akan menyelesaikan persoalan mendasar. Ia justru meminta pemerintah untuk mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset sebagai langkah konkret pemberantasan korupsi.
“Komitmen itu telah tertuang dalam dokumen Asta Cita untuk memperkuat reformasi politik, hukum, birokrasi, dan penguatan pencegahan korupsi,” ujar Agus pada Jumat (20/12/2024).
Pakar hukum tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, juga memperingatkan bahwa langkah ini berpotensi melanggar asas akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan.
“Pengampunan ini tidak menjamin transparansi, bahkan berisiko menimbulkan moral hazard. Orang justru merasa aman meski melakukan korupsi,” ujar Mahfud.
Hal serupa diungkapkan pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Ia menyebut wacana tersebut tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi dan lebih menguntungkan koruptor daripada masyarakat.
“Lebih baik pahami dulu undang-undangnya sebelum memberikan pernyataan. Wacana ini justru bertentangan dengan prinsip keadilan,” tegas Feri.
Masalah Moral dan Hukum
Wacana pengampunan ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai moralitas dan efektivitas dalam penegakan hukum. Meski Menkumham menyebut bahwa langkah ini memungkinkan dilakukan tanpa perintah Presiden, hal ini tetap membutuhkan dasar hukum yang jelas.
“Denda damai untuk tindak pidana memang memungkinkan. Namun, peraturan turunannya belum selesai, dan harus ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR,” jelas Supratman.
Mencari Jalan Tengah
Dalam dinamika pro dan kontra ini, wacana Presiden Prabowo menjadi ujian penting bagi komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Meski pengampunan bertujuan mempercepat pengembalian aset negara, pendekatan ini dinilai memiliki risiko melemahkan penegakan hukum dan semangat anti-korupsi di Indonesia.
Pertanyaannya kini adalah apakah kebijakan ini mampu menjadi solusi nyata atau justru menciptakan preseden buruk bagi sistem hukum Indonesia? Hanya waktu yang dapat menjawabnya, sembari publik menunggu langkah konkret pemerintah dalam merealisasikan atau merevisi gagasan ini.