NawaBineka – Pungutan Liar (Pungli) di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Rutan KPK memasuki babak baru. Dalam sidang pungli Rutan KPK, Senin 23 September 2024, terungkap sejumlah fakta baru.
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi misalnya, Dia diminta membayar iuran saat menghuni rutan KPK. Terpidana makelar kasus itu, memberikan kesaksian secara daring dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung.
Istilah Botol hingga Mainan di Kasus Pungli Rutan KPK
Menurut Nurhadi, selama mendekam di Rutan KPK Kavling C1, Kuningan, Jakarta Selatan, sempat dimasukkan ke ruang isolasi selama dua pekan. Selanjutnya dipindah ke Blok A.
Terdakwa H lalu menghampiri Nurhadi di selnya dan mewajibkan tahanan memegang telepon selular (ponsel) di rutan yang diberi istilah “botol” dengan biaya Rp20 juta.
Tahanan saat itu juga diwajibkan membayar iuran Rp5 juta per bulan.
Ketentuan itu juga berlaku untuk menantunya, Rezky Herbiyono yang juga jadi tahanan di rutan KPK. Uang penggunaan ponsel dan iuran diserahkan secara tunai lewat orang suruhan Nurhadi.
“Setahu saya, di rutan itu hanya tiga orang (petugas) yang tidak mau uang bulanan itu,” ungkap Nurhadi.
Nurhadi pun menghitung telah menggelontorkan total Rp115 juta untuk membayar iuran sejak ditahan pada Juni 2020 hingga Januari 2022.
“Ini bukan rahasia lagi, yang lain juga tahu itu,” kata Nurhadi.
Belum lagi ada oknum petugas jaga Rutan KPK yang curhat sedang membangun rumah hingga keluarga sakit untuk mendapat uang pungli.
“Kemudian datang lagi petugas lain, ada (yang curhat) istrinya sakit, ada anak sakit dirawat di rumah sakit. Nah, harus memberikan (uang) itu,” beber Nurhadi.
Dia menuturkan, uang pungli itu diberikan kepada petugas diselundupkan ke dalam rutan menggunakan boks makanan. Agar boks makanan itu bisa sampai ke tangannya, Nurhadi lagi-lagi mengaku, memberikan uang kepada petugas.
Namun, ada lagi istilah “ongkos gojek” buat para petugas yang menyelundupkan uang tersebut. Nurhadi menceritakan, sanksi yang dialami tahanan jika enggan atau telat membayar iuran, mulai dari air galon tidak diberikan, aliran air kamar mandi dimatikan, hingga kiriman makanan dari keluarga ditahan.
Nurhadi mengalami makanan dari keluarga ditunda diberikan sampai sore. Juga ada makanan yang dicatut. Ia pun komplain kepada petugas.
“Katanya tercecer di mobil,” singkatnya.
Menurutnya, delapan tahanan di Rutan Kavling C1 semuanya membayar iuran bulanan. Total uang yang terkumpul kurang lebih Rp40 juta per bulan.
Kesaksian serupa dituturkan Mantan Direktur Utama Perusda Pembangunan Sarana Jaya, Yoory Corneles Pinontoan yang juga memberikan kesaksian secara daring dari Lapas Sukamiskin.
Yoory sempat menjadi koordinator saat ditahan di Rutan KPK Cabang Guntur. Tugasnya mengingatkan tahanan lain untuk membayar iuran bulanan.
Dia pun merinci sudah bayar iuran hinga Rp130 juta, baik secara tunai maupun transfer lewat adiknya. Uang itu sudah termasuk biaya penggunaan ponsel di dalam rutan atau diistilahkan “mainan”.
“Saya berusaha memenuhi dengan cara apapun. Saya menjual semua mobil saya untuk kebutuhan itu semuanya,” ungkap Yoory.
Sama seperti Nurhadi, dia juga sempat menyelundupkan uang tunai sebanyak Rp80 juta untuk dibagi-bagikan kepada petugas rutan. Sebanyak, Rp30 juta untuk keperluan tahanan, yakni membeli kopi, gula, sabun, sikat hingga ember.
Yoory menegaskan, tidak mendapat keuntungan selama menjadi koordinator pengumpulan uang pungli rutan KPK. Ia hanya ingin membantu sesama tahanan, tapi malah dituduh memalak tahanan lain.
“Itu semata-mata hanya menolong teman-teman yang sakit. Bahkan ada yang meninggal di dalam (rutan) karena tindakan untuk memberikan bantuan kesehatan itu sangat-sangat lama, lambat,” urainya.
Terpidana lainnya, yakni mantan Dirut Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, turut diminta kesaksiannya mengenai praktik pungli di rutan KPK. Emirsyah juga memberikan kesaksian secara daring dari Lapas Sukamiskin.
Pemberian uang itu selalu tunai. Dia memberikan uang itu untuk mendapatkan sejumlah fasilitas. Dia mengaku pernah ditawari untuk mendapatkan handphone.
“Beberapa kali saya ditawari, akhirnya saya ambil juga, agak setengah dipaksa jugalah,” ucap Emirsyah.
Jaksa mendalami pernyataan Emirsyah yang mengeklaim dipaksa tersebut. Emirsyah mengaku sering ditawari dan ditanyai, karena butuh, dia akhirnya bayar Rp13 juta untuk dapat fasilitas handphone itu.
“Akhirnya saya bayar itu harganya kalau enggak salah Rp 13 juta,” kata Emirsyah.
“Setengah dipaksa gimana?” cecar jaksa.
“Ya dipaksalah, dikasih ditawari ditawari-tawari terus, ya namanya dipaksa juga kita ini di rutan kok,” timpal Emirsyah.
Kode Hujan hingga Banjir di Rutan KPK
Ada istilah untuk menghindari inspeksi mendadak (sidak) di Rutan KPK. Kalau di Rutan Guntur menggunakan kode ‘banjir’, lain halnya di Rutan C1 yang menggunakan istilah ‘hujan’.
Mantan Sekretaris MA Nurhadi yang pernah ditahan di Rutan C1 membenarkan pertanyaan jaksa dalam sidang lanjutan perkara pungli di Rutan KPK.
“Betul sekali. Ada hujan, ada hujan istilah ditahanan saya,” kata Nurhadi yang dimintai keterangan secara hybrid dari Lapas Sukamiskin Bandung, Jawa Barat.
Jaksa lantas bertanya, apa yang dilakukan bila ada sidak. Nurhadi menjawab semua alat komunikasi seperti ponsel maupun powerbank dikumpulkan untuk diamankan petugas Rutan KPK.
“Ya berarti pada saat disidak, enggak ada barangnya. Gak ada ‘botol’ itu, kan gitu. Itu hanya kamuflase,” jelas Nurhadi.
Lagi-lagi, mengamankan ‘botol’ tentu bukan perkara gratis. Para tahanan akan mengumpulkan uang yang nantinya diserahkan pada petugas rutan KPK.
Urunan tersebut untuk membawa kembali barang-barang tersebut ke dalam sel tahanan. Tarif ‘pengamanan’ bervariasi, mulai dari Rp500 ribu hingga Rp3 juta.
Uang-uang tersebut dikumpulkan oleh masing-masing tahanan di mushola Rutan karena tidak ada CCTV dan itu ada ruangan khusus untuk kasih uang seikhlasnya.
Diketahui, ada 15 orang yang jadi tersangka dalam kasus dugaan pungli Rutan KPK. Mereka di antaranya Kepala Rutan KPK Achmad Fauzi, eks Plt Karutan KPK Deden Rochendi dan Ristanta, serta Hengki yang merupakan eks Kamtib Rutan.
Para tersangka didakwa mengumpulkan uang hingga Rp6,3 miliar selama empat tahun mulai 2019-2023. Uang tersebut didapat dari para tahanan kasus korupsi dengan jumlah beragam antara Rp300 ribu hingga Rp20 juta.
Penyerahan dilakukan secara langsung maupun lewat rekening bank penampung yang dikendalikan oleh lurah dan korting. Tahanan kemudian mendapatkan fasilitas eksklusif setelah memberi uang kepada para petugas.
Salah satunya bisa menggunakan handphone maupun powerbank. Sementara yang tidak membayar atau terlambat menyetor mendapat perlakuan tak nyaman.
Di antaranya kamar tahanan dikunci dari luar, pelanggaran dan pengurangan jatah olahraga, serta mendapat jatah jaga dan piket kebersihan lebih banyak. KPK juga melakukan penjatuhan hukuman disiplin terhadap pegawai yang terlibat sebanyak 66 orang dipecat.