NawaBineka – Dalam upaya mendesak menentukan masa depan Gaza pascaperang, Arab Saudi memimpin negara-negara Arab dalam menyusun rencana yang bertolak belakang dengan gagasan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Riyadh berupaya menghadirkan solusi yang lebih berkelanjutan dibandingkan rencana Trump yang dinilai ingin “membersihkan” Gaza dari warga Palestina dan merelokasi mereka ke Yordania dan Mesir.
Sebanyak 10 sumber mengungkapkan bahwa gagasan Trump mengejutkan negara-negara Arab, terutama Arab Saudi, Mesir, dan Yordania, yang memandangnya sebagai ancaman serius bagi stabilitas kawasan.
Sebagai tanggapan, negara-negara Arab kini berusaha mengajukan proposal alternatif, termasuk dana rekonstruksi yang dipimpin negara-negara Teluk dan upaya menyingkirkan Hamas dari struktur pemerintahan Gaza.
Proposal Arab untuk Masa Depan Gaza
Seorang pejabat pemerintah Arab mengatakan bahwa setidaknya empat proposal telah disusun, dengan rencana Mesir yang kini menjadi pusat dari inisiatif Arab dalam menghadapi ide Trump.
1. Pemerintahan Baru Tanpa Hamas
Menurut tiga sumber keamanan Mesir, proposal terbaru dari Kairo mencakup pembentukan komite nasional Palestina untuk memerintah Gaza tanpa kehadiran Hamas, partisipasi internasional dalam rekonstruksi Gaza tanpa perlu memindahkan warga Palestina keluar, serta langkah-langkah menuju solusi dua negara.
Proposal ini akan dibahas dalam pertemuan di Riyadh bulan ini yang melibatkan Arab Saudi, Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, dan perwakilan Palestina. Hasil diskusi ini kemudian akan diajukan dalam KTT Arab pada 27 Februari.
Menurut seorang pejabat Yordania, Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MbS), memainkan peran kunci dalam upaya ini. “Kami mengatakan kepada Amerika bahwa kami memiliki rencana yang lebih realistis. Pertemuan dengan MbS sangat krusial karena dia yang memimpin inisiatif ini,” ujar pejabat Yordania tersebut, dilansir Reuters, Sabtu (15/2/2025).
2. Rekonstruksi dan Zona Penyangga di Gaza
Sumber-sumber regional menyebut bahwa rencana rekonstruksi untuk Gaza sudah dalam tahap lanjutan. Beberapa poin utama dalam proposal Arab meliputi pembangunan zona penyangga dengan penghalang fisik untuk mencegah terowongan lintas batas Gaza-Mesir, serta pembersihan puing-puing dan pembangunan 20 zona pemukiman sementara.
Ada juga pelibatan 50 perusahaan dari Mesir dan luar negeri untuk mempercepat pembangunan kembali Gaza, dengan pendanaan dari negara-negara Teluk dan internasional. Bahkan, ada usulan menamai inisiatif ini sebagai “Trump Fund for Reconstruction” guna mendapatkan persetujuan Washington.
Namun, menurut seorang pejabat Arab, tantangan terbesar adalah menentukan struktur pemerintahan dan keamanan di Gaza, terutama karena Israel menolak peran Hamas maupun Otoritas Palestina dalam mengelola wilayah tersebut. “Memastikan Hamas tidak lagi berperan dalam pemerintahan Gaza adalah hal yang sangat krusial,” kata seorang pejabat Arab dan tiga sumber keamanan Mesir.
Hamas sendiri menyatakan siap melepas kendali atas Gaza kepada komite nasional Palestina, tetapi mereka ingin memiliki suara dalam penunjukan anggotanya dan menolak kehadiran pasukan asing di wilayah itu.
Meskipun tidak ada elemen baru dalam proposal ini, para pejabat Arab yakin bahwa rencana ini cukup solid untuk meyakinkan Trump dan dapat diterapkan pada Hamas serta Otoritas Palestina yang dipimpin Mahmoud Abbas.
Ketegangan Arab Saudi dengan AS Meningkat
Ketidaksepakatan Arab Saudi terhadap rencana Trump sebenarnya sudah terjadi sebelum pengumuman resmi Washington. Arab Saudi berulang kali menegaskan bahwa normalisasi hubungan dengan Israel hanya bisa terjadi jika ada jalur jelas menuju pembentukan negara Palestina.
Namun, ketika Trump mengindikasikan bahwa kesepakatan normalisasi dapat berlangsung tanpa solusi dua negara, ketegangan pun meningkat. Sehari sebelum pengumuman Trump, seorang pejabat AS menyatakan, “Arab Saudi akan sangat membantu dalam proses ini.”
Komentar ini bertolak belakang dengan realitas di Riyadh. Seorang sumber yang dekat dengan lingkaran kerajaan mengatakan bahwa Pangeran MbS sangat tidak senang dengan rencana Trump. “Dia tidak senang,” ujar sumber tersebut.
Ketidakpuasan Arab Saudi segera terlihat dalam liputan media nasional yang mengkritik kebijakan Israel secara tajam. “Mereka sangat marah,” kata analis Saudi, Aziz Alghashian. “Ini bukan sekadar frustrasi biasa, tapi kemarahan yang berbeda level.”
Beberapa pengamat menduga bahwa Trump menggunakan taktik negosiasi ekstrem, seperti yang pernah ia lakukan dalam kebijakan luar negeri sebelumnya. Namun, dampaknya tetap memperumit pembicaraan normalisasi antara Saudi dan Israel.
Mantan kepala intelijen Saudi, Pangeran Turki al-Faisal, menyatakan dalam wawancara dengan CNN bahwa jika Trump mengunjungi Riyadh, “Dia akan mendapatkan banyak kritik dari para pemimpin di sini.”
Ketika ditanya apakah ada kemungkinan pembicaraan normalisasi dengan Israel akan berlanjut, ia menjawab, “Sama sekali tidak.”