NawaBineka – Baru-baru ini, jagat media sosial dihebohkan oleh sebuah video yang memperlihatkan seorang siswa SD di Medan yang disuruh belajar di lantai. Ya, kamu tidak salah baca!
Siswa kelas 4 yang malang ini menerima sanksi tersebut karena menunggak pembayaran SPP selama tiga bulan. Dalam video yang viral tersebut, terlihat siswa itu duduk sendirian di lantai kelas sambil melihat ke arah papan tulis, benar-benar bikin hati terenyuh.
Kejadian ini tentu saja mengundang banyak reaksi dari netizen. Banyak orang yang merasa tindakan itu terlalu keras dan tidak manusiawi, terutama bagi anak-anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan dengan penuh kasih sayang.
Namun, kontroversi tidak berhenti sampai di situ. Dengan segala keramaian yang terjadi, kasus ini lainnya pun muncul ke permukaan.
Ada Apa di Balik Sanksi?
Setelah mengamati lebih dalam, ternyata ada dua versi cerita di balik sanksi ini. Pertama, ada yang menyebut jika siswa tersebut tidak menerima rapor karena tunggakan SPP.
Versi kedua yang datang dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Medan, Benny Sinomba Siregar, menyatakan bahwa sanksi tersebut diberikan karena orang tua siswa tidak mengambil rapor sebelum semester genap dimulai.
Ia menegaskan bahwa tindakan guru adalah murni untuk menegur siswa yang tidak mengambil rapor.
“Awal muasal permasalahan adalah karena orang tua tidak mengambil rapor sampai pada awal masuk sekolah semester genap. Bukan karena masalah uang sekolah seperti yang ada di berita,” kata Benny. Hal ini menambah kebingungan masyarakat yang sudah terlanjur terpengaruh oleh berita yang beredar.
Reaksi Orang Tua dan Sekolah
Orang tua siswa, kemudian, angkat suara tentang tindakan wali kelas yang kontroversial itu. Mereka merasa tidak ada korespondensi dari pihak sekolah terkait aturan tersebut. “Aturan ini sepertinya dibikin sendiri oleh wali kelas, tanpa sepengetahuan dan koordinasi dengan kepala sekolah,” ungkap orang tua siswa yang merasa dirugikan.
Setelah kejadian ini viral, kepala sekolah, Juli Sari, pun meminta maaf dan menjelaskan bahwa sebenarnya apa yang terjadi adalah miskomunikasi. “Anak itu kan tidak menerima rapor waktu pengambilan rapor dikarenakan dia belum lunas uang SPP,” jelasnya. Sangat disayangkan, ya, bahwa sebuah kesalahan komunikatif dapat merugikan anak di usia belia.
Menariknya, kejadian ini juga mengundang perhatian dari Komisi X DPR. Mereka khawatir bahawa sanksi yang diterima siswa SD ini bisa berdampak buruk terhadap mental dan psikologis anak-anak.
Anggota Komisi X, Hetifah, menuturkan bahwa tindakan tersebut dapat memengaruhi kesehatan mental anak.
“Tindakan meminta murid belajar di lantai, karena menunggak SPP, merupakan tindakan yang tidak etis dan melanggar prinsip-prinsip pendidikan yang menjunjung tinggi hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa diskriminasi,” kata Hetifah. Wow, jelas sangat serius ya situasi ini.
Dapat Beasiswa dengan Harapan Baru
Di tengah segala kontroversi ini, ada sebuah kabar baik. Meskipun mengalami malapetaka dari sanksi yang brutal tersebut, siswa yang viral ini ternyata mendapatkan tawaran beasiswa hingga tingkat SMA. Sebuah kisah yang dari awalnya gelap, berujung pada harapan baru. Banyak yang menjadikannya sebagai simbol ketahanan dan keberanian menghadapi kesulitan.
Meskipun sanksi yang diterima sangat tidak adil, pengalaman tersebut mungkin menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa pendidikan harusnya memberikan semangat dan bukan rasa malu. Ini adalah langkah awal bagi siswa tersebut untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Pelajaran dari Insiden Ini
Kisah siswa SD belajar di lantai ini membuka mata kita mengenai banyak aspek pendidikan yang belum tentu ideal. Dari komunikasi antara pihak sekolah dan orang tua, hingga cara sanksi yang diterapkan kepada siswa. Kejadian ini harus menjadi pengingat bagi kita semua—pentingnya pendekatan yang lebih manusiawi dalam mendidik anak.
Semoga ke depan, setiap kebijakan dalam dunia pendidikan memperhatikan hak-hak anak dan tidak mengakibatkan trauma yang dapat berkelanjutan. Dengan komunikasi yang baik dan perhatian yang tepat, pendidikan dapat berjalan sesuai dengan tujuan utamanya—membentuk generasi yang cerdas dan berkarakter.