NawaBineka– Kasus dugaan pemerkosaan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang melibatkan seorang pria disabilitas tanpa tangan telah menarik perhatian luas masyarakat. Kasus ini melibatkan seorang mahasiswi berinisial MA yang diduga menjadi korban pemerkosaan oleh tersangka IWAS, pemuda berusia 21 tahun yang mengalami disabilitas tunadaksa.
Menurut keterangan pihak kepolisian, dugaan pemerkosaan terjadi pada tanggal 7 Oktober 2024. Kejadian ini berawal ketika IWAS mengajak korban ke sebuah homestay dengan iming-iming untuk “mandi suci”.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa korban terpaksa mengikuti ajakan tersebut karena ancaman yang dilontarkan oleh IWAS. Pengacara korban, Andre Safutra, mengatakan bahwa pelaku mengancam akan melaporkan korban terkait masalah dengan mantan kekasihnya kepada keluarganya.
Detail Modus Operandi
Modus yang digunakan IWAS dalam menjalankan aksinya melibatkan manipulasi dan ancaman, yang merefleksikan daya tarik psikologis yang kuat. Dalam hal ini, IWAS memanfaatkan situasinya sebagai seorang disabilitas untuk menumbuhkan rasa empati pada korban, namun menyelubungi niatan jahatnya.
Meskipun secara fisik terbatasi, pelaku dinyatakan mampu merencanakan dan melaksanakan tuduhan tersebut.
Kepala Subdirektorat Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) IV Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujewati, mengkonfirmasi bahwa IWAS ditangkap setelah pihak kepolisian mengumpulkan dua alat bukti dan keterangan dua saksi yang mendukung dugaan ini.
Polisi juga menyebutkan bahwa IWAS diduga menggunakan kedua kakinya untuk membuka kaki korban saat kejadian.
Konteks Sosial dan Hukum
Kasus ini memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat, termasuk kontroversi mengenai perlakuan hukum terhadap individu dengan disabilitas. Beberapa pihak berpendapat bahwa kondisi fisik pelaku seharusnya dipertimbangkan dalam proses hukum, sementara lainnya menekankan bahwa tindak kriminal tidak dapat ditoleransi, terlepas dari keterbatasan fisik yang dimiliki pelaku.
Kasus ini menjadi sorotan media dan masyarakat, mengingat stigma yang sering menyertai individu dengan disabilitas. Beberapa aktivis hak asasi manusia telah menyatakan keprihatinan mereka terhadap kemungkinan dampak negatif pada persepsi publik terhadap penyandang disabilitas secara keseluruhan.
Reaksi dari Pengacara Korban
Dalam penjelasannya, Andre Safutra, kuasa hukum korban, menyoroti pentingnya memberikan dukungan kepada korban pemerkosaan, terlepas dari kondisi fisik pelaku.
“Kita tidak boleh melihat disabilitas sebagai alasan untuk meremehkan atau mempertimbangkan pengurangan hukuman bagi pelaku. Setiap orang harus bertanggung jawab atas tindakannya,” kata Andre Safutra.
Dia juga mengingatkan bahwa proses hukum harus tetap berjalan dengan adil serta transparan, tanpa adanya diskriminasi baik terhadap korban maupun pelaku. Rasa keadilan diharapkan dapat terpenuhi melalui penegakan hukum yang sesuai.
Perkembangan Terakhir Kasus
Hingga saat ini, IWAS telah ditetapkan sebagai tersangka dan sedang dalam proses hukum. Polda NTB telah mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi kasus ini, dengan tidak melakukan penilaian tanpa dasar hukum yang jelas.
Penanganan kasus ini menjadi penting untuk mengedukasi masyarakat mengenai hak-hak penyandang disabilitas dan korban kejahatan. Polisi berharap agar kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih memahami dan menghargai integritas hukum, serta memicu diskusi yang sehat mengenai isu disabilitas dan keadilan sosial dalam konteks hukum.
Kasus pemerkosaan mahasiswi oleh IWAS mencerminkan beragam isu yang masih dapat ditemukan di masyarakat, termasuk stigma terhadap disabilitas dan kompleksitas dalam pemberian keadilan. Penegakan hukumnya diharapkan dapat menjadi landasan untuk perubahan positif mengenai pemahaman disabilitas dan keadilan yang setara.
Masyarakat diharapkan untuk memberikan dukungan kepada para korban dan tetap menjaga semangat keadilan dalam melihat isu ini secara lebih luas, mengingat bahwa kejahatan tidak mengenal batas fisik maupun sosial.