NawaBineka – Pada tanggal 8 Desember 2023, sebuah peristiwa besar terjadi di Suriah. Rezim Bashar Al Assad, yang telah berkuasa selama 50 tahun, secara resmi digulingkan oleh milisi Hayat Tahrir Al Sham (HTS).
Kejadian ini menandai berakhirnya era pemerintahan otoriter dan membawa harapan baru bagi banyak pihak yang menginginkan perubahan di negara tersebut. Kejadian dramatis yang terjadi di ibu kota Damaskus ini berlangsung cepat, menyusul serangkaian pertempuran yang sengit.
Dalam beberapa hari sebelum penggulingan, HTS berhasil merebut kontrol atas wilayah strategis, memperkuat posisi mereka di tengah krisis yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Kronologi Kejatuhan Rezim
Penggulingan Bashar Al Assad berlangsung dalam waktu yang mengesankan, yakni hanya sebelas hari setelah HTS berhasil merebut kembali kota penting, Aleppo, pada akhir bulan November.
Momen ini menunjukkan kekuatan dan strategi militer HTS untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka dengan cepat, mengambil keuntungan dari situasi yang semakin tidak stabil di Suriah.
Tentara Suriah mengakui kehilangan kendali atas Damaskus, menandakan neraca kekuatan yang berubah secara dramatis dalam waktu singkat. Para pejuang HTS merayakan pelengseran tersebut dengan pengibaran bendera yang menjadi simbol perjuangan anti-Assad.
Dampak Regional dan Internasional
Kejatuhan rezim Assad memicu serangkaian reaksi dari berbagai negara, terutama Israel yang memiliki kepentingan strategis di Suriah. Menyusul penggulingan tersebut, muncul pertanyaan mengenai bagaimana perjanjian-perjanjian yang selama ini diterapkan antara Suriah dan Israel akan dipengaruhi.
Beberapa analisis menunjukkan bahwa Israel mungkin memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan.
“Jatuhnya Bashar Al Assad memang menjadi peluang bagi Israel sendiri. Dengan jatuhnya rezim, perjanjian-perjanjian yang selama ini dilakukan dianggap tidak berlaku lagi, terutama berkaitan dengan batas wilayah,” kata Yon Machmudi, seorang analis politik timur tengah.
Hal ini menunjukkan bahwa dinamika baru di Suriah dapat memicu perubahan signifikan di wilayah sekitarnya.
Kemandekan Politik
Berbicara mengenai reaksi dari faksi-faksi lokal, Hamas turut memberikan respons terhadap situasi yang berkembang di Suriah. Kekhawatiran akan dampak terhadap komunitas Palestina yang telah menjadi pengungsi di Suriah menjadi sorotan penting, mengingat jumlah mereka yang mencapai 438 ribu di wilayah tersebut, menurut laporan Badan PBB untuk Urusan Pengungsian (UNRWA).
Rezim Assad yang pro-Iran selama ini bersekutu dengan kelompok-kelompok milisi di kawasan, dan jatuhnya pemerintahan ini diproyeksikan akan mengubah lanskap kekuatan regional, terutama dalam konteks konflik yang melibatkan Israel dan Palestina.
Implikasi Masa Depan Suriah
Dengan runtuhnya rezim ini, masa depan pemerintahan di Suriah menjadi tidak pasti. Berbagai faksi oposisi yang berjuang melawan Assad kini perlu menghadapi tantangan baru dalam merumuskan pemerintahan dan kebijakan luar negeri yang koheren.
Hal ini menjadi tantangan untuk membangun konsensus di kalangan kelompok-kelompok yang berbeda ideologi dan tujuan. Sementara pergeseran kekuasaan terjadi, masyarakat Suriah juga menghadapi tantangan baru berupa pemulihan sosial dan ekonomi setelah lebih satu dekade konflik.
Munculnya pemerintahan baru tentunya diharapkan dapat membawa stabilitas, tetapi banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, termasuk reaksi internasional dan konflik internal yang mungkin masih terjadi.
Kejatuhan rezim Bashar Al Assad pada 8 Desember 2023 membawa perubahan yang signifikan bagi Suriah dan kawasan sekitarnya. Ini adalah tonggak sejarah yang mungkin akan memengaruhi peta politik dan sosial di Timur Tengah untuk waktu yang akan datang.
Sebagian pihak berharap bahwa perubahan ini dapat mengarah pada perbaikan keadaan di Suriah, namun tantangan tetap ada. Sementara itu, pengamatan dari berbagai pihak termasuk komunitas internasional akan terus dilakukan untuk melihat bagaimana keadaan di Suriah berkembang pasca-rezim Assad.