NawaBineka – Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, memastikan bahwa pemangkasan anggaran oleh pemerintah tidak berdampak pada layanan BPJS Kesehatan. Menurutnya, BPJS Kesehatan tidak bergantung pada anggaran negara, melainkan dibiayai oleh iuran peserta.
“BPJS itu uangnya dari masyarakat. Memang mungkin yang dimaksud adalah masyarakat yang masuk kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang iurannya ditanggung oleh APBN. Jumlahnya sekitar 96,8 juta peserta yang dibantu pemerintah pusat,” ujar Ghufron di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (11/2).
BPJS Kesehatan memiliki beberapa sumber pendanaan, antara lain:
- Peserta PBI yang iurannya ditanggung pemerintah melalui APBN untuk masyarakat miskin dan tidak mampu.
- Pekerja Penerima Upah (PPU) seperti karyawan swasta, ASN, dan TNI/Polri, yang iurannya dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja.
- Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri yang membayar iuran sendiri.
- Peserta Bukan Pekerja (BP) seperti investor, pemberi kerja, dan pensiunan yang juga membayar iuran secara mandiri.
Ghufron menegaskan bahwa BPJS Kesehatan hanya bertindak sebagai penerima dana dan pendaftar peserta, bukan pihak yang menentukan status kepesertaan PBI. Keputusan mengenai siapa yang berhak menerima bantuan iuran berada di tangan pemerintah pusat dan daerah.
“BPJS hanya menerima dan mendaftarkan peserta. Tidak benar jika dikatakan BPJS membuat peserta aktif menjadi tidak aktif. Yang menentukan status kepesertaan adalah pemerintah pusat atau daerah,” tegasnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025. Kebijakan ini bertujuan menghemat anggaran negara hingga Rp306,69 triliun, dengan rincian Rp256,1 triliun dari anggaran kementerian/lembaga dan Rp50,59 triliun dari anggaran daerah.
Inpres ini menginstruksikan pembatasan belanja non-prioritas, seperti pengurangan 50 persen untuk perjalanan dinas, serta pembatasan belanja seremonial, kajian, studi banding, pencetakan, publikasi, dan seminar. Selain itu, belanja honorarium juga dibatasi dengan mengacu pada Peraturan Presiden (PP) mengenai Standar Harga Satuan Regional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan bahwa efisiensi anggaran perlu dibahas bersama DPR RI. Setelah mendapat persetujuan, laporan final kebijakan efisiensi harus disampaikan paling lambat 14 Februari 2025.